Kamis, 25 Desember 2014

Tentang Desember

Desember.
Saya punya cerita tersendiri tentang Bulan ke 12 dalam kalender,  bulan penutup satu tahun yang telah berjalan.
Desember itu dingin, desember itu kelabu, penuh mendung, hari hari nya kerap berhujan, bahkan bersalju di belahan bumi yang lain.
...
Sebelumnya, saya sangat menyukai Bulan Desember. Saya suka udara dinginnya yang menelusup ke balik sweater, saya suka berjalan jalan di bawah warna kelabu langit paginya, Saya suka romantis rinai gerimisnya, dan saya suka memandangi hujan derasnya dari jendela dengan khayalan yang menari dalam pikiran.
Itu dulu, sebelum bulan ini menyisakan sedikit trauma. Sedikit, tetapi cukup menyadarkan saya tentang sisi lain Desember.
...
Winter. Musim dingin.
Udara yang beku, sinar mentari yang hanya sesaat, langit kelabu yang suram, gelap yang lebih cepat datang dan membuat malam jadi lebih panjang..
..
Entah sejak kapan Desember menjadi bulan yang.. yahh..entah bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang, penuh hikmah (yang tersembunyi), penuh kejutan (dalam arti positif dan juga negatif), bulan di mana suka duka di sini terasa sangat jelas, bulan di mana saya harus mengambil keputusan keputusan yang (mungkin) menentukan arah hidup saya selanjutnya.
Ibarat kopi, yang lama kelamaan ampasnya mengendap di dasar cangkir, rasa-rasanya semua hal selama 11 bulan sebelumnya menjadi terakumulasi, terkumpul di akhir tahun. Sedikit berat sebenarnya untuk menangani hal hal yang sudah terakumulasi seperti itu. Apalagi itu Hal hal yang absurd. abu-abu. ambigu. Setengah jelas, setengahnya lagi tak jelas. Membuat saya merasa terjebak dalam musim dingin yang panjang, beku dan gelap.
...

Keputusan apa? Hal hal apa? Suka duka dan peristiwa macam apa?
Ah, tak perlulah saya ceritakan secara detail. Entry sebelumnya sudah cukup menjadi clue (itupun kalau kalian membaca tulisan saya :p ).
...
Desember memang menyisakan sedikit trauma dan duka bagi saya. Tetapi duka selalu menyimpan kejutan setelahnya. Kejutan yang menyenangkan, pastinya. Hal itulah yang tidak membuat saya 100% membenci bulan ini. Hanya menambah perspektif mengenai Desember, di satu sisi dinginnya menyejukkan, di satu sisi dinginnya juga membekukan...
...
Bahwa suka dan duka itu berjalan bergantian, dan selalu bersisian...
...

Di balik salju yang dingin mengubur tanah, masih ada tunas tunas baru yang bersiap akan tumbuh, memekarkan bunga yang cantik di musim semi nanti.
...
...
bws, akhir tahun 2014
*mengenang desember tahun lalu

ps : Apakah Desember tahun depan masih menyimpan kejutan lagi? :)

Selasa, 27 Mei 2014

DESIRES

"aku ingin begini...
aku ingin begitu...
ingin ini, ingin itu banyak sekali..."

Taruhan, deh! Pasti bacanya sambil nyanyi..;-)

***
meskipun hanya sekedar lagu anak-anak, tetapi baru-baru ini saya menyadari kalau lagu "legendaris" ini punya arti yang cukup dalam (ceilee..dalam...).
Bagi yang memaknai dan merenungi liriknya, maka lagu ini tidak lagi sekedar menjadi lagu anak-anak yang riang dan ringan, tetapi malah justru menjadi sebuah sindiran.
Iya kan? Ngaku aja,deh..
***
Manusia mana di dunia yang tidak punya keinginan sama sekali? Terutama yang sifatnya duniawi.
Misalnya nih ya, mungkin kalian punya keinginan-keinginan seperti di bawah ini;

Saya pengen punya pacar yang cakep, tinggi, putih kaya' artis korea. *eh
Saya pengen dapat beasiswa master di luar negeri, minimal aussie.
Saya pengen
nanti kerja di tempat elit dan dapat posisi yang keren juga.
Saya pengen travelling tiap weekend, kalau bisa ke luar negeri.
Saya pengen itu...Saya pengen ini...begitu, begini...

Bagaimana dengan keinginan saya? Yaah..seandainya saya tuliskan satu-satu keinginan saya, mungkin sudah jadi setebal kamus besar bahasa Indonesia (isn't it too much?).
Yup. I  believe that every human born with a heaps of desire and dreams.Bedanya, ada yang berambisi ada yang tidak. Susah juga kalau sudah ada embel-embel ambisinya.

"Ambisi? Ah, nggak kok...biasa aja".
Yakin, biasa aja? Tapi kok galau?

Ketika saya mencoba bertanya pada diri sendiri, apakah itu ambisi atau bukan, seperti itulah jawabannya. Ngeles. Ngomong-Ngomong, susah lo jujur sama diri sendiri itu. Coba aja.
***

"Suffering comes mostly from desire, and not only from pain"
begitu kata salah seorang penulis favorit saya. Dan itu benar sekali. Pertama kali membacanya, rasanya "jleb". Nancep di hati.
Salah satu tanda bahwa keinginan-keinginan kita selama ini ternyata ambisi adalah, ketika kita merasakan bahwa itu menyiksa dan membuat kita merasa tidak tenang. Gelisah, khawatir, dan ketakutan kalau-kalau keinginan itu tidak akan terwujud. Semakin banyak keinginan, semakin besar pula rasa takut itu.
Percaya?
Saya sih percaya, karena sudah merasakan sendiri.
***
Nggak salah, kalau kita punya banyak keinginan. manusiawi. yang salah adalah ketika pada akhirnya keinginan-keinginan itu malah membebani dan menyiksa diri sendiri gara-gara si ambisi itu. Apalagi ketika pada akhirnya keinginan itu nantinya tidak terwujud. Percaya deh, keinginan dan impian yang ada embel-embel ambisi itu nyesek.
***
Pada akhirnya, lama-lama kita akan merasa lelah dengan semua keinginan itu. Dan ketika fase itu terjadi, kita akan mulai membuat "penawaran" dari apa yang selama ini kita inginkan ;

Saya pengen punya pacar yang cakep, tinggi, putih kaya' artis korea. X Ah, nggak perlu segitunya deh, yang penting orangnya baik.
Saya pengen dapat beasiswa master di luar negeri, minimal aussie. Univ lokal juga nggak apa deh, yang penting ilmunya.
Saya pengen nanti kerja di tempat elit dan dapat posisi yang keren juga. X Kerja di mana aja boleh, yang penting bisa hidup cukup dan mandiri.
Saya pengen travelling tiap weekend, kalau bisa ke luar negeri. X Yang penting tiap weekend bisa ngumpul sama keluarga udah cukup.

Sekalipun sudah ada penawaran seperti di atas tadi, tetap saja itu semua adalah keinginan. Keinginan yang sudah ditawar. Dan penawaran-penawaran seperti itu masih akan terus terjadi sampai pada akhirnya keinginan-keinginan itu mungkin sudah tidak kita inginkan lagi.

***
Ada saatnya kita berkata (atau mungkin bernyanyi);
"aku ingin begini, aku ingin begitu..."
Tetapi akan ada saatnya juga kita hanya akan berkata;
"Ah, begini saja sudah cukup"
***


Selasa, 21 Januari 2014

Pintar; Antara Absurd dan Relatif

Apakah anda termasuk orang pintar? Merasa pintar? Atau dianggap pintar? Apa sih pintar itu? Bisakah anda memberitahu saya  definisi pintar yang benar-benar tepat? Karena sampai sekarang saya masih tidak mengerti pintar yang sesungguhnya seperti apa dan bagaimana. Apakah "orang pintar" itu memang benar benar pintar? Setahu saya orang pintar itu tahunya hanya klenik-klenik begitu. Iya toh? Einstein pintar? Mereka bilang einstein jenius. Dan katanya jenius beda dengan pintar. Benar begitu?
Seorang anak waktu sekolah dasar sering rangking 1 di kelas. Orang-orang bilang; "duh..pinter banget sih anak itu". Tapi waktu beranjak sekolah menengah sudah tidak pernah rangking 1. Boro-boro rangking, prestasinya malah menurun. Kemudian orang-orang bilang; "padahal dulu pinter loh...".
Jadi pintar itu sifatnya temporer ya?
Ada lagi, si A hasil test IQnya 120. kemudian orang-orang bilang; "wiih..IQnya tinggi ya..berarti dia pinter. Tapi kok nilai rapornya biasa biasa aja?"
Jadi pintar itu...Apa?
...
Seorang dosen pernah bertanya pada saya ketika ujian lisan sebuah mata kuliah;
"Kok gak bisa jawab? Kamu dulu waktu saya ajar termasuk pintar kan?"
Eh. Agak kaget juga ditanya seperti itu. Darimana beliau menilai saya pintar? Nama saya saja mungkin beliau tidak hafal. Nilai mata kuliah beliau saja saya selalu dapat c. Dan lagi, saya pernah ketahuan tidur di kelas pada salah satu mata kuliah beliau. Sekarang saya di kira pintar? Pasti beliau salah orang. Dan akhirnya, saya menjawab (dengan berlagak pilon) ;
"Eee...bukan Pak..saya nggak pinter kok.."
"Oh, jadi bukan termasuk pinter..." Balasnya.
Dan pembicaraan berakhir begitu saja. Awkward. Tapi lucu juga sih.
...
Itu dosen pertama, yang selama hampir 4 tahun masa kuliah saya (pada waktu itu) yang bilang saya pintar (meskipun mungkin si bapak salah orang). Terlepas dari beliau salah orang atau tidak, sebagai mahasiswa rata rata, yang tidak pernah menonjol baik di kelas apalagi organisasi (karena saya tidak ikut organisasi apa-apa) dibilang atau disangka pintar oleh seorang dosen kawakan rasanya "sesuatu banget". Rasanya saya hampir mencapai puncak tangga teratas hirarki kebutuhan manusia (cuma hampir, lalu terpeleset lagi ke bawah); aktualisasi diri. Pengakuan.
Dengan adanya sangkaan bahwa saya termasuk pintar tadi, semakin absurd definisi "pintar" itu sendiri bagi saya.
...
Pernah saya bertanya pada diri sendiri;
"Apa iya, saya ini memang pintar?"
Entah. Saya sebenarnya tidak pernah merasa pintar. Malah cenderung minder. Waktu saya masih sekolah dasar, matematika saya sangat jelek. Parah. Langganan dapat "kursi" dan "bebek". Pernah juga dapat nilai "telur". Sering di hukum berdiri di depan gara gara tidak mengerjakan PR. Waktu SMP pun begitu. Sejak saat itu saya sempat beranggapan bahwa orang pintar itu, yang nilai matematika, fisika, dan kimia nya bagus. Orang pintar itu yang pintar hitung-hitungan. Meskipun lama-lama persepsi sempit saya itu terkikis, tetapi makna pintar itu masih tetap tidak jelas. Apalagi setelah saya tahu hasil test IQ pada saat saya SMA. Dari hasil test IQ untuk pemilihan jurusan itu, ternyata IQ saya rata-rata. Saya lupa jumlahnya. Tapi yang jelas hasilnya sangat rata-rata. Kurang sedikit saja, bisa di bawah rata-rata. Sementara saya lihat teman saya yang malas, nilai biasa saja, kadang juga PR nyontek saya, skor nya malah termasuk kategori superior. Jadilah saya sedikit down pada waktu itu. Sampai-sampai Ayah saya merobek dan membuang hasil test IQ itu agar saya tidak tertekan dan semakin minder (rasanya terharu juga kalau mengingat momen itu).
...
Tragedi skor test IQ sudah lama lewat. Saya kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Saya mahasiswi biasa. Tidak menonjol di kelas. Tidak aktif di organisasi apapun. Tidak populer di antara teman-teman plus IP naik turun tiap semester dan IPK pas-pas an (yang penting ada angka 3 di depan, untuk modal melamar ke perusahaan :p ). Kalau dosen saya tahu hal-hal tersebut, apakah beliau masih akan mengira saya pintar? Kalaupun iya, mungkin beliau hanya mengejek saya dengan halus.
...
Baru-baru ini, ada lagi yang bilang saya pintar. Dan penyampaiannya lebih meyakinkan daripada dosen sebelumnya yang kemungkinan salah sangka dan salah orang. Bahkan bukan sebuah pertanyaan tetapi pernyataan. Beliau juga dosen saya. Termasuk dalam daftar dosen "top class" di jurusan saya. Kejadiannya pada saat sidang skripsi dan ujian kompre waktu itu. Ketika saya selesai menjelaskan isi skripsi saya, kemudian beliau bertanya;
"IPK kamu berapa?" sambil membolak-balik berkas ujian saya.
"3,08 Pak". Jawab saya singkat.
"IPK kamu kok kecil sih, padahal menurut saya kamu ini pinter lo,"
"Eh? Beneran Pak?" Lagi-lagi saya cuma bisa berlagak pilon.
"Iya, betul. Saya tidak pernah salah menilai orang. Keliatan dari cara bicara kamu". Jawabnya serius.
Seketika itu juga tiba-tiba saya jadi emosional. Terharu pada waktu itu. Dan itu di luar kendali saya. Saya bukan orang yang ekspresif dan saya jarang menunjukkan emosi, terlebih lagi di depan orang yang tidak saya kenal baik. Malah banyak yang bilang saya cenderung dingin dan tidak peka. Tapi entah kenapa ketika keluar pernyataan seperti itu, mata saya malah berkaca-kaca. Bukan karena takut menghadapi dosen penguji yang killer semua. Murni terharu.
Mungkin kalian akan menganggap saya berlebihan. Saya sendiri juga tidak ingin seperti itu, lebih-lebih di depan penguji. Malu sekali. Tetapi semua terjadi begitu saja, out of my control. Saat itu juga saya benar benar berada di anak tangga teratas hirarki kebutuhan manusia. Bukan hanya "hampir" seperti sebelumnya, tetapi sudah benar-benar berada di puncak, meskipun apa yang saya rasakan itu cenderung impulsif dan tidak berdasar. Maklum, namanya saja lagi emosional.
...
Kendati demikian, pernyataan dosen saya itu tidak lantas membuat saya mengerti makna pintar yang sebenarnya. Karena toh, pernyataan tadi pun tidak mengubah IPK saya jadi cum laude. Saya masih tetap mahasiswi biasa. Sampai sekarang saya lulus pun, saya masih orang biasa. Masih belum bisa menjawab pertanyaan; "apakah saya memang pintar?" Mau berlagak sombong dengan terang-terangan menjawab; "iya, aku memang pintar kok" pun rasanya masih pikir-pikir. Mau merendah pun, rasanya tidak enak.
Saya tetap tidak tahu. Sampai sekarang pun, ketika saya menulis entry ini, tetap saja saya belum menemukan standar pintar itu apa dan bagaimana. Entah mungkin saya yang kurang riset mengenai definisi "pintar" atau  memang jangan-jangan tidak ada definisi yang pasti mengenai hal itu.
...
Terlepas dari definisi  yang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Prancis, dan semua kamus bahasa-bahasa dunia lainnya bagi saya pintar itu relatif dan cenderung absurd. Kata dosen saya, beliau menilai seperti itu dari cara  bicara saya (padahal saya dikenal paling tidak pandai merangkai kata untuk bicara).
Berarti pintar itu orang yang pandai bicara dong?
Maka dari itulah, mengapa pintar saya katakan relatif dan kadang absurd. Orang "pintar" di dunia ini banyak. Pintar matematika, pintar sejarah, pintar bicara, pintar mengambil hati orang, pintar masak, pintar nipu, pintar korupsi, dan banyak pintar-pintar lainnya. Pintar tidak melulu soal akademik. Kalau pintar memang hanya soal akademik berarti "pintar" ada standarnya, kan?
Jangan terlalu bangga disebut orang pintar, kalau belum tahu, anda itu pintar apa. Lagipula tidak seharusnya pintar itu di deklarasikan.
...
Apa yang saya tulis ini pasti absurd menurut kalian. Maaf ya mungkin terkesan tidak bertanggung jawab, tetapi saya sendiri saja juga tidak begitu mengerti arah tulisan ini kok..hehehe. Bukan maksud saya sok sok menunjukkan secara implisit kalau "saya ini pintar lo". Sumpah, saya bukan orang pintar. Jangan pedulikan perkataan dosen-dosen saya sebelumnya. Beneran, saya ini biasa-biasa saja. Di sini, Saya hanya menuangkan ide yang saya punya. Daripada lama-lama mengendap di otak, sayang kan kalau ide itu menguap dan hilang? :)
...
*mengenang ujian kompre penuh hikmah sebulan yang lalu.